Sabtu, 30 Oktober 2010

Mbah Maridjan : Pengabdian hingga akhir hayat….

Bergelar Raden Ngabehi Surakso Hargo atau kita lebih mengenalnya sebagai Mbah Maridjan, nama asli beliau adalah Mas Penewu Surakso Hargo, lahir di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, pada tahun 1927. Beliau  adalah seorang abdi dalem keraton Yogyakarta yang bertugas sebagai seorang Juru Kunci Gunung Merapi. Amanah sebagai juru kunci ini diperoleh dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Setiap gunung Merapi akan meletus, warga setempat selalu menunggu komando dari beliau untuk mengungsi.Beliau mulai menjabat sebagai wakil juru kunci pada tahun 1970 dan  Jabatan sebagai juru kunci lalu ia sandang sejak tahun 1982.....

Banyak orang berkomentar termasuk temen-temen gue, “itulah akibatnya kalau keras kepala, disuruh ngungsi kok gak mau!” gak salah memang tapi juga gak sepenuhnya betul, yang gue pahami bahwa dalam tradisi Jawa yang namanya “pengabdian”, adalah berlaku seumur hidup, berdedikasi tanpa pamrih dan patuh tanpa protes, mungkin hal ini juga yang dipegang teguh oleh mbah Maridjan, tanggung jawab sebagai seorang “Juru Kunci” membuatnya bertahan sampai akhir, tanpa takut oleh bahaya yang akan menimpa,
Dalam dunia modern sekarang ini, memang rasanya aneh kalau fungsi seorang juru kunci  masih dipertahankan, setiap kali kita mendengar kata “juru kunci” otak kita pasti langsung mengupload segala sesuatu yang bersifat mistis, padahal tugas seorang juru kunci Merapi tidaklah mudah dan tidak lah melulu berkaitan dengan mistis. Tugas seorang juru kunci merupakan tanggung jawab yang berat, apalagi ini berkaitan dengan sebuah gunung berapi yang aktif, dia harus mampu “membaca alam” agar mampu mengayomi penduduk sekitar akan bahaya yang bisa muncul, harus mampu menjaga lingkungan alam sekitar gunung, dia harus mampu menjembatani antara alam nyata dan alam mistis-dalam kosmik budaya jawa keseimbangan alam ditentukan juga oleh interaksi wadag kasar dengan wadag halus- Mbah Maridjan harus bisa menjaga keseimbangan interaksi yang terjadi di antara kedua alam tersebut, oleh karena itu gue bisa memahami kenapa Mbah Maridjan tetap bersikukuh bertahan untuk tidak mengungsi, pengabdian dan tanggung jawablah yang menahan beliau untuk tidak cepat-cepat mengungsi. Seorang juru kunci lebih kurang sama dengan petugas Badan Vulkanologi Indonesia yang bertugas mengawasi gerak gerik gunung berapi yang masih aktif, hanya saja tentunya dengan latar belakang dan cara kerja yang berbeda.Sekali lagi memang  kita harus memahami itu semua dari kacamata budaya dan mistis, keraton Yogyakarta sebagai benteng Kebudayaan Jawa, memiliki pandangan yang lebih “halus” berkenaan dengan eksistensi alam raya ini ketimbang pandangan scientist modern. Keraton tetap merasa bertanggung jawab terhadap keselamatan masyarakat di lereng Gn. Merapi, oleh karena itu dipertahankanlah fungsi seorang juru kunci, Mbah Maridjan dengan segala pengalamannya mampu membaca “Merapi” dengan baik tidak kalah dengan para ilmuwan, terbukti sudah puluhan tahun dia mampu menjadi “komandan” bagi masyarakat sekitar Merapi.
Mbah Maridjan dengan segala kesederhanaan dan keikhlasannya telah menunaikan amanat yang diberikan oleh Kanjeng Sulthan Hamengkubuwono IX, walaupun pada akhirnya beliau harus menyerah kepada takdir yang sudah disuratkan oleh Yang Maha Kuasa. Lelakon Mbah Maridjan sudah ditutup, tetapi kearifannya dalam mensikapi alam kehidupan ini akan terus menjadi suatu pelajaran yang sangat berharga, Pengabdian tanpa pamrih, kesederhanaan, kearifan, dan kukuh dalam mengemban amanah, sesuatu yang sangat sulit di jumpai di tengah arogansi dan individualitas yang membabibuta di negeri ini. Roso…roso…
SKN Oct 30 2010

1 comments:

KPLH AVISAMBA mengatakan...

akang,..

di tunggu di avis,.
kangen juga avis ka akang,..
boleh minta apapun yang bisa dihubungin,avis lagi penataan administrasi anggota,..
ini ada FB avis kang(kplhavisamba)
ditunggu kang,..

Template by : kendhin x-template.blogspot.com